Atheist & Agnostic: Manusia meninggalkan Agama bukan karena iblis

Saturday, March 21, 2015

Seringkali aku mendengar celotehan kaum fundamentalis tentang atheis dan agnostik...
mereka selalu berkata bahwa atheis dan agnostik sudah dipengaruhi iblis, tidak beradab, sumber kekejian dan kebejatan moral dll.
Aku melihat Atheis dan agnostik bukanlah orang tanpa etika dan moral, hanya saja tidak mendasarkan moralitas dan etikanya pada ajaran Tuhan, melainkan pada akal budi manusia. kebanyakan atheis dan agnostik adalah orang-orang yang berpikir kritis dan analitis. Orang yang berpikir kritis tentu meninggalkan hal-hal klenik yang tidak masuk akal, termasuk didalamnya kepercayaan terhadap tuhan. "Mengapa percaya terhadap sesuatu yang tidak ada buktinya?" "Apa itu percaya?" "Bagaimana kerja pikiran mempercayai sesuatu?" "Apa itu tuhan?" "Darimana ide ketuhan berasal?" dll. Pertanyaan dasar seperti ini biasanya yang menuntun seseorang menjadi atheis dan agnostik...
dan buatku sendiri atheis dan agnostik tak bisa dipandang rendah, terlebih menurut mereka segala hal yang terjadi di dunia bisa dijelaskan dengan rasio. dari situ aku memandang atheis dan agnostik adalah sebuah hasil pencarian seseorang yang bersifat personal. mereka yang cukup berani mempertanyakan segala sesuatu dan giat bekerja serta belajar untuk mencari jawabnya. mereka tidak bisa yakin sebelum meragukan sesuatu terlebih dahulu...

Aku pernah belajar mengenai sejarah munculnya agama-agama secara komperhensif. di situ aku menemukan bahwa agama muncul karena usaha manusia mencoba mencitrakan tuhan ke dalam sesuatu yang bisa mereka pahami. dan pencarian mereka mengenai semua agama buatku sama baiknya berujung pada dilema, seperti semua kecap adalah kecap no. 1, berarti semua agama sama baik buruknya. Agama A mengatakan A-lah agama paling baik, dan agama B buruk. Sebaliknya agama B mengatakan hal yang sama mengenai dirinya sendiri, dan mengkatagorikan agama A sebagai agama yang tak baik. Jika ada 1.000 agama di dunia, memilih salah satu berarti berharap 1 surga, tetapi bersiap masuk 999 neraka agama lain yang disiapkan bagi orang ‘kafir’.




Menurut survey pun, mereka menjadi atheis ataupun agnostik karena miris melihat kelakuan orang-orang beragama yang bahkan lebih rendah dari binatang. saling membenci antar umat beragama, membunuh mengatasnamakan tuhan ataupun agama dsb.
di sini  pandangan tentang umat beragama yang seperti itu layaknya Seorang fanatik melihat manusia lain tidak sebagai manusia, melainkan sebagai sesuatu yang lain, yang bukan manusia. Cara pandang yang negatif ini dibentuk oleh prasangka yang lahir dari dendam dan trauma atas kejadian negatif yang pernah terjadi sebelumnya. dimana orang tidak lagi melihat dunia secara jernih, melainkan secara gelap, karena trauma dan dendam, baik itu dendam tokoh dalam suatu agama, dendam kelompok maupun dendam pribadi yang dimilikinya...

Aku juga tidak bisa menolak pandangan bahwa akar dari fanatisme yakni sikap ekstrem di dalam menghayati suatu pandangan, kerinduan manusia untuk ditaklukkan oleh kelompok, dan ketakutannya akan kebebasan hidup. Kebebasan itu mengerikan. Berpikir itu sulit dan melelahkan. Tanggung jawab atas pilihan yang telah diambil itu membebani jiwa. Maka, orang lebih memilih untuk takluk ke dalam ajaran yang bersifat mutlak dan pasti, serta mengingkari kebebasannya sendiri. buat yang suka filsafat mungkin sudah tidak asing mendengar nama Karl Max, filsuf asal jerman pencetus sosialisme. Karl Max mengatakan bahwa Agama bagaikan opium, hal ini dikarenakan banyak manusia yang beragama tapi tidak menggunakan hati nurani dan akal mereka. sehingga akibatnya mereka menjadi bodoh, fanatik kemudian anarkis dan merusak nama baik agamanya sendiri...

Entah kenapa aku jadi miris melihat perilaku orang beragama di Indonesia yang kebanyakan menjadi bodoh ngeributin hal ga penting, fanatik berlebih sehingga melupakan kemanusiaan dan berujung tindak anarkis.. sampai mereka melupakan esensi penting dalam beragama yaitu:


"Agama melayani manusia, Bukan manusia yang melayani agama, Agama dibuat untuk membuat manusia makin manusiawi bukan menjadi biadap"
mungkin karena kebanyakan orang beragama disini hanya karena keturunan kemudian hanya mempelajari sejarah, ajaran dll tentang agamanya saja sehingga mereka terbawa konflik yang ada di dalam agamanya. sedangkan atheis dan agnostik mempelajari semua dan menemukan alasan maupun jawaban sendiri sebelum akhirnya mereka meyakini...

Terkadang aku melihat atheis dan agnostik bisa dibilang lebih religius dan punya pandangan yang lebih cerdas. sebab pola pikir mereka timbul dari kekritisan pribadi semetara yang beragama mendapatkan pola spiritual semata-mata dari kitab dan dogma yang dicamkan orang tua sekaligus pemuka agama mereka. dan seringkali atheis dan agnostik lebih peaceful ketimbang yang beragama karena yang beragama beramal semata-mata karena tuhan mengejar surga sekaligus menghindari neraka alias pamrih..

Well~ intinya sih atheis, agnostik maupun yang berbeda keyakinan sekalipun tidak usah dianggap menjadi suatu ancaman. tapi lebih sebagai cara memahami agama dari sudut pandang lain untuk memperbaiki kualitas iman menjadi lebih kritis sekaligus dewasa menanggapi suatu hal...




Perfect: Menganggap sesuatu Sempurna Baik atau Tidak dalam Aspek kehidupan?

Friday, March 20, 2015
Entah kenapa banyak sekali yang meng-klaim segala sesuatunya 'sempurna' !
mulai dari Agama, Negara, Barang, Hasil sebuah pekerjaan bahkan ada yang mengklaim dirinya sempurna.
Seketika aku jadi teringat dongeng yang pernah diceritakan mantan kekasihku yang di bandung Yoru alias El Yolanda Virgiora Paula, sebenernya banyak dongeng bagus yang pernah dia ceritakan sebelum aku tidur yang bisa aku share ceritanya disini... 
Tetapi berhubung aku sedang kepikiran soal klaim 'sempurna' akhirnya aku share salah satu cerita dari sekian banyak cerita yang dia dongengkan dan mungkin dengan perumpamaan cerita seperti ini bisa dikoreksi apakah sesungguhya makna sempurna itu? baik atau tidak kah menganggap segala sesuatu sempurna tanpa adanya perbaikan...

Near-Death Experience: Mati Suri ataukah hanya Astral Projection yang Gagal?

Saturday, March 14, 2015
Cerita individu tentang kematian dikenal di berbagai budaya dan waktu yang berbeda. Bagi orang-orang belahan Barat pada abad terakhir, fenomena menjelang kematian dibuktikan dengan adanya surga dan neraka. Pada akhir abad ke-19, pengalaman tersebut menjadi titik fokus penelitian para ilmuwan. Tapi itu hanya berada pada pertengahan abad ke-20 yang menyatakan bahwa fenomena ini menemukan kepentingan ilmiah yang lebih luas dalam masyarakat.
Deskripsi atau investigasi dari fenomena mati suri sering menyiratkan asumsi universal, hal yang paling menonjol adalah gagasan bahwa semua pengalaman mati suri mengandung unsur-unsur yang sama atau persepsi dalam urutan yang mirip. Sementara ahli biologi berkontribusi terhadap gagasan tersebut dengan menegaskan fungsi universal otak, dan agama individu terinspirasi yang pada akhirnya mengakui kesamaan dalam pengalaman mati suri di semua budaya, hingga menyatakan kebenaran universal versi mereka masing-masing tentang akhirat.

Istilah Near Death Experience diberikan pertama kali tahun 1975 dalam buku Life After Life karya Dr. Raymond Moody. Dari sinilah perhatian publik pada masalah ini mulai berkembang. Walau begitu, cerita tentang mati suri telah beredar sejak lama sepanjang sejarah. Plato dalam karyanya, Republic, yang ditulis tahun 360 SM, menceritakan tentang seorang prajurit bernama Er yang mengalami mati suri setelah terbunuh di medan perang. Er menceritakan jiwanya meninggalkan tubuh, diadili bersama jiwa lainnya dan melihat surga. Seperti yang kita lihat disini, bisa jadi pengalaman mati suri seperti ini disebabkan olehkeyakinan agamanya. Namun hal yang sebaliknya juga mungkin terjadi, agama muncul disebabkan oleh pengalaman orang yang mati suri.

Isi pernyataan mati suri sangat bervariasi, tergantung pada waktu dan tempat induvidu yang mengalami. Misalnya unsur-unsur gerakan dalam sebuah terowongan dan gambaran kehidupan, tetapi diabaikan dalam pernyataan tentang mati suri dari budaya masa lalu atau lainnya. Pengalaman mati suri (near death experience) memang memiliki pola yang berbeda untuk setiap orang yang mengalaminya. Juga ragam penjelasan, dari psikologis hingga menurut keyakinan masing-masing. pengalaman hampir mati terjadi ketika zat yang membentuk jiwa manusia terlepas dan meninggalkan sistem syaraf, memasuki alam semesta. Berdasar pada ide ini, kesadaran (consciousness) sejatinya dianggap sebagai sebuah program komputer kuantum dalam otak, yang bisa tetap bertahan di alam semesta bahkan setelah kematian. Ini menjelaskan persepsi sejumlah orang yang pernah mengalami mati suri. Dengan demikian, menurut teori ini, jiwa kita lebih dari sekadar interaksi antar neuron pada otak. Melainkan susunan yang terbangun dari intisari alam semesta, dan mungkin telah ada sejak waktu bermula. Konsep ini agak mirip dengan keyakinan Buddha dan Hindu, bahwa kesadaran adalah bagian integral dari alam semesta. Dan memang mirip dengan filsafat Barat idealis. 


Placebo & Nocebo Effect: Kekuatan dari kepercayaan

Friday, March 6, 2015

PLACEBO...?
Mungkin buat yang belom pernah mendengar kata placebo akan terasa asing dengan istilah placebo effect. Placebo diambil dari kalimat dalam bahasa latin placebo domino in regione vivorum yang artinya "Saya harus senang".
Kata placebo pertama kali muncul dalam buku kamus kedokteran Motherby, Motherby's Dictionary of Medicine, tahun 1785, dan didefinisikan sebagai metode umum dalam kedokteran. Meskipun kata placebo tidak didefinisikan sebagai sesuatu yang negatif dalam kamus tersebut, pada masa itu masyarakat awam mengkonotasikan plasebo sebagai istilah yang negatif sejak abad pertengahan di Eropa.

dalam arti klasiknya, placebo adalah pengobatan tiruan atau sugesti yang diberikan lebih demi tujuan menenangkan daripada memenuhi kebutuhan organik yang didiagnosakan secara jelas. dengan kata lain placebo itu adalah penanganan palsu ato pengobatan yang tidak mempunyai efek..

lalu kenapa tidak diberikan efek kalo seperti itu?? Ada yang tau kenapa?? Mudah saja...
Kita tahu semua orang punya alam bawah sadar yang berharap kita sembuh..
Dan dengan pemberian obat atau saran dengan sugesti yang baik maka dengan sendirinya efek alam bawah sadar akan membuat tubuh sekaligus jiwa merasa nyaman seperti telah diobati..

Dalam kehidupan ini Kita mengenal hukum “placebo effect”, di mana suatu masukan, menjadi kebenaran karena pengaruh keyakinan dan kepercayaan. Ilmu kedokteran pun sampai saat ini belum bisa menjelaskan bagaimana pikiran mempengaruhi tubuh. Efek placebo, misalnya, ini adalah efek tubuh terhadap luka untuk menyembuhkan sendiri bagian tubuh yang terluka. Para ahli memang dapat menjelaskan luka akan kering akibat adanya darah putih, pengaruhnya terhadap luka agar cepat kering, bla bla bla dan lain sebagainya, tetapi ilmu kedokteran tidak bisa menjelaskan kenapa pikiran kita mengirimkan sinyal kepada bagian tubuh tersebut untuk bekerja.

Bagaimana tepatnya efek placebo muncul belum diketahui pasti. Namun, setidaknya ada 3 teori yang berusaha menjelaskannya. Pertama, natural remission teori, kesembuhan atau perbaikan yang didapatkan oleh seseorang adalah fenomena kebetulan.



Hal lain yang berhubungan dengan sugesti ini adalah saat kita sedang memperjuangkan sesuatu, kita mendapatkan dukungan bahkan doa dari orang-orang terdekat kita, misalnya ibu, ayah, adik, pacar, dll, sehingga kita merasa bersemangat untuk melakukan semua hal. Atau hal lainnya adalah saat kita depresi, stress, dan entah apa lagi yang harus kita lakukan, seseorang terkasih memberikan kita pelukan dan membisikan di telinga kita “kamu pasti bisa..”. itu pun sugesti. Placebo effect memiliki sejarah panjang dalam kehidupan manusia, bahkan sejak dari masa-masa purba. Dukun-dukun sudah mengenalnya terlebih dahulu, dan melakukan hal itu. Mereka menari untuk mendatangkan hujan, memotong kambing agar matahari bersinar, dan pada masa sekarang menekan tombol close agar lift menutup, meminum obat antibiotik yang sebenarnya tidak ada isinya dll. Otak kita, tidak menyukai hal-hal acak, dan tanpa sadar kita selalu mengaitkan segala sesuatu dengan sebab-akibat. Dalam hal di atas, sebab akibat yang berlaku adalah "sebab saya menekan tombol, maka akan berakibat lift menutup"